Rabu, 27 November 2013

Kemiskina di Indonesia

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang 
adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program 
pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan 
kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan 
masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang 
berkepanjangan.

PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan 
kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan 
ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap 
tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, 
yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang 
menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya 
mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah 
terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase 
penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk 
yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase 
keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh 
jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan 
selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.


Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di 
Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya 
penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring 
pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada 
karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan 
perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan 
budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, 
program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya 
manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama 
(SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman 
berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak 
didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan 
selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil 
pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang 
menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini 
tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang 
mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk 
ekonomi yang berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa 
membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten 
Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin 
karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.

Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka 
kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. 
Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk 
target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs 
approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta 
perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya 
bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target 
sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro 
yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model 
ekonometrik.

Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin 
secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh 
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski 
demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, 
indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan 
seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang 
spesifik-lokal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar